“Kamu gak capek pulang terus?”, tanya Carlos.
“Capek sih, tapi aku sudah terlanjur jatuh cinta dengan pekerjaanku
ini. Aku bisa kok menikmatinya”, jawab Elia sambil duduk di samping
kasur.
“Tapi, apa kamu bisa membagi waktu? Kasihan ‘kan anak kita
ditelantarkan begitu saja. Kamu juga sering pulang lebih malam daripada
aku, bahkan kadang lembur”, jelas Carlos sambil menutup buku yang sedang
dibacanya dan melepas kacamatanya.
“Iya, aku tahu tapi kamu ngertiin aku juga dong. Ini adalah
cita-citaku dari kecil dan setelah aku raih masa harus kulepaskan begitu
saja? Aku sudah menunggu saat-saat seperti ini, aku telah menitinya
dengan keringat dan kerja keras. Kamu juga, bukannya kamu mendukung aku?
Tapi, kenapa jadinya begini?”, jelas Elia sambil bangkit berdiri.
“Iya, iya. Aku mengerti jelas tentang apa yang kamu hadapi sekarang.
Tapi lihat, sekarang kamu bukan hanya seorang wanita karier, tapi kamu
juga merangkap sebagai istri dan ibu dari anak kita. Seenggaknya, aku
mau kamu adil dan bijaksana. Jangan hanya terfokus pada pekerjaanmu.”
“Oh, jadi menurut kamu, selama ini aku gak adil? Membuatkan sarapan
pagi dan menemani Amanda membeli keperluan sekolah, itu belum cukup?!
Aku uda cukup berkorban, Carlos!”, teriak Elia sambil menunjuk dadanya
sendiri.
“Shht, Amanda sudah tidur, nanti dia bangun. Lagi pula aku gak
berpikir begitu. Aku cuma mau kamu mengurangi waktu kerja kamu. Toh, aku
‘kan juga sudah punya pekerjaan, masih cukup membiayai kita
sekeluarga.”
“Apa kamu pikit sebuah pekerjaan itu hanya dinilai dari materi? Oh,
jadi selama ini kamu pikir aku haus akan uang dengan pekerjaanku ini?
Kalau kamu memang berpikir begitu, berarti kamu belum mengerti aku
sepenuhnya.
***
Elia adalah seorang wanita karier yang sukses. Begitu suksesnya, ia
harus mengorbankan kebahagiaannya yang sepatutnya ia dapatkan dengan
keluarganya. Namun, untuk pekerjaannya sebagai arsitektur, ia
menyanggupi konsekuensi itu. Sayang, suaminya yang awalnya mendukung
pekerjaannya itu, lama kelamaan muak dengan keputusannya sendiri.
“Ma, hari ini ada rapat orangtua murid. Mama ingat ‘kan? Lagian ini hari Sabtu”, kata Amanda sambil mengunyah roti isinya.
“Aduh, mama gak bisa, Manda. Mama sibuk. Papa aja ya, yang ambilkan rapot Amanda. Mama sudah janji sama teman mama.”
“Mama juga sudah janji mau ambil rapotku, ‘kan? Mama yang bilang
kalau aku dapat ranking satu, nanti mama beliin aku boneka Angry Birds.
Tapi mana? Mama bohong!”, teriak Amanda sambil menahan tangis. Ia
menjatuhkan sisa roti isinya dan berlari ke kamarnya sambil menangis.
“Amanda, mama belum selesai bicara”, tegur Elia sambil meletakkan tasnya di atas meja dan seketika menghentikan aktivitasnya.
“Ya sudah, nanti aku yang jelasin ke Amanda. Kamu pergi saja
selesaikan pekerjaanmu dulu. Besok kita pergi jalan-jalan sekeluarga”,
kata Carlos mencoba mencairkan suasana.
“Lah? Aku sibuk, mungkin aku lembur. Proyek ini harus cepat
kuselesaikan. Aku gak bisa besok”, jelas Elia sambil mengernyitkan dahi.
“Terus kamu bisanya kapan? Kalau kamu memang serius dengan pekerjaanmu, bukan berarti kamu bisa telantarkan Amanda.”
“Hmm, aku lagi gak ada waktu untuk berdebat. Aku pergi dulu ya”,
pamit Elia sambil membawa tas kerjanya tanpa basa-basi. Tanpa cium pipi
ataupun sekadar senyum kepada Carlos.
Seketika ruang makan itu menjadi sepi. Tak lama, terdengar suara
mobil dinyalakan dan semakin lama menghilang. Carlos hanya menghela
napas memikirkan cara apa lagi agar Elia berubah seperti dulu.
Seingatnya, beberapa bulan yang lalu Elia tidak seperti ini. Ia penuh
perhatian terhadap Amanda, bahkan selalu mengantar dan menjemput Amanda
tanpa mengeluh. Ia nyaris tidak pernah lembur, selalu pulang lebih awal
dari pada Carlos. Tapi sekarang? Entah sampai kapan Carlos harus menahan
diri melihat kelakuan Elia yang semakin larut dalam pekerjaannya. Atau,
mungkinkah ia sedang menutupi sesuatu di balik pekerjaannya ini?
***
“Bersabarlah, semua akan kembali indah pada waktunya. Dia hanya
sedang butuh waktu untuk dirinya sendiri. Biarkan dia menikmati
pekerjaannya, toh hitung-hitung bisa menambah pendapatan keluarga
kalian”, kata Feodrova sambil memberikan segelas teh kepada Carlos.
“Tapi bila harus mengorbankan Amanda, sama saja bohong. Apa gunanya?
Amanda itu masih kecil, dia masih butuh perhatian. Apa kamu gak merasa
kasihan lihat Amanda menangis?”, tanya Carlos sambil menyeruput teh
panasnya.
“Iya, tapi kamu mendukung dia ‘kan? Dia sudah memperlihatkan
kesungguhannya di pekerjaannya ini, dia mencurahkan hati dan pikirannya
tanpa setengah-setengah. Dia bersedia lembur walaupun dia capek. Dia
tetap menyempatkan diri membuat sarapan bahkan terkadang mengantarkan
Amanda ke sekolah.”
“Maaf Feo bila aku lancing tapi bukannya kamu sudah punya pengalaman
seperti ini ‘kan? Bukannya perubahan seperti ini yang harus dicurigai?
Bekerja untuk menghindari keluarga.”
Feodrova tersenyum kecil. “Lihatlah ke belakang sebentar, baru
sekarang ‘kan ia meminta waktu untuk bekerja. Dulu ia sangat
mengutamakan keluarga, mengurus segala sesuatunya dengan tulus.”
Selama ini, Feodrova yang meyakini Carlos untuk menghadapi masalah
ini dengan kepala dingin. Dia paham tentang apa yang terjadi karena ia
pernah mengalaminya. Pekerjaan menjadi topeng atas perselingkuhan
suaminya. Tak heran, saat itu ia orang yang individualis dan terlalu
egois untuk memikirkan suaminya. Bercerai bukan jalan yang ingin
ditempuhnya, namun suaminya terlanjur menghamili anak orang.
Kejadian ini yang membuat ia lebih mudah mengerti keadaan Carlos
sehingga ia berusaha membantu Carlos semampunya agar ia tak melakukan
hal gila, mengingat ia telah memiliki buah hati.
“Feo, aku rasa cuma kamu yang bisa mengerti aku.” Kali ini Feodrova
tersenyum kecil lagi dan menundukkan lalu menggelengkan kepalanya.
Taman di rumah itu seolah kehabisan oksigen. Carlos merasa panas dan
segala peluh bercucuran di badannya. Ia skeptis dengan pertanyaan yang
akan digunakannya kepada Feodrova. Sebab sejujurnya, hanya ketenangan
hati yang didapatnya bila bersama Feodrova.
“Feo, maukah kamu menikah denganku?”
“Plaaakk!”
Feodrova tak percaya atas apa yang didengarnya. Seluruh badannya berguncang. Ia melangkah mundur, menjauhi Carlos.
“Jangan gila kamu, Carlos! Kamu sudah beristri, sudah punya anak! Bagaimanapun alasanmu, kamu tidak bisa menceraikan Elia!”
“Siapa bilang aku harus menceraikan Elia?”
“Jadi, maksud kamu?”, tanya Feodrova keheranan sebelum melanjutkan,
“Kamu bodoh atau memang bajingan? Wanita mana yang rela dimadu? Maksudku
kamu tetap harus bersama Elia, mempertahankan pernikahanmu bagaimanapun
keadaannya tanpa aku.”
“Carlos…”, kata Elia dengan pelan.
Keadaan semakin mencekam. Baik Carlos maupun Feodrova langsung
menengok pada Elia dengan penuh rasa terkejut. Ternyata Elia pulang
lebih awal dan ia sudah berdiri di ruang tamu sejak tadi. Tanpa
berkata-kata, Elia berjalan menuju kamarnya seolah tak ada yang terjadi.
Baru saja Elia hendak menutup pintu, Carlos menahannya.
“Dengar penjelasanku dulu”, kata Carlos.
“Kamu mau jelasin apa lagi? Semua sudah jelas! Dan aku gak mau dimadu!”, teriak Elia.
Mendadak suasana menjadi hening. Tak ada pembicaraan untuk sementara
waktu. Mereka saling diam dan saling berhadapan namun tak saling melihat
satu sama lain, hingga Carlos memutuskan memulai pembicaraan kembali.
Carlos menghela napas. “Baik. Kita cerai”, kata Carlos dengan pelan tapi jelas.
Elia
tak bisa bernapas, dadanya berdebar semakin kencang. Ia menggigit bibir
bawahnya dan menatap kosong ke lantai. Ia tidak percaya dengan apa yang
baru saja didengarnya. Ia tak menyangka bahwa kata-kata itu akan keluar
dengan mudahnya dari mulut Carlos.
“Aku terima bila memang begitu adanya keputusanmu. Mungkin aku memang
terlalu memikirkan pekerjaan tapi aku melakukan semua itu karena…”,
kata Elia sambil menahan tangis dan memegang dadanya.
“Karena?”, tanya Carlos dengan khawatir sambil mendekati Elia.
“Karena umurku sudah tidak panjang lagi. Aku tidak mau kalian tahu
aku mengidap kanker payudara. Aku sengaja bekerja untuk mengalihkan
pikiranku. Tapi, sudahlah. Kamu jalani saja kehidupanmu. Jangan
pedulikan aku.”
Tiba-tiba, Carlos merengkuh Elia. Beribu maaf terucap oleh Carlos
atas perbuatan dan keputusan bodohnya tadi yang diucapkannya tanpa pikir
panjang. Ia berjanji akan merawat Elia dengan sepenuh hati.
***
Beberapa bulan kemudian, selepas proyeknya yang berjalan sukses, Elia
tak mengundurkan diri . Ia tetap bekerja seperti biasanya namun tak
pernah lembur lagi. Ia menghabiskan waktunya bersama Carlos dan Amanda
setiap akhir minggu. Dengan tawa dan penuh kasih di antara mereka.
Setahun kemudian, Elia dipanggil Tuhan. Ia tak terlihat sedih di saat
menghembuskan napas terakhirnya. Sebaliknya, ia terlihat begitu tenang.
Tanpa tangis kesedihan pun Carlos melepas Elia. Kini, Carlos sadar
bahwa cinta tak harus memiliki dan tak selamanya terungkap melalui
perbuatan. Karena dengan percaya, kasihlah yang akan menjawab semua
pertanyaan dan membuka mata kita.
Tolong “share” ke teman-teman yang lain agar mereka juga dapat
memetik hikmah yang ada pada kisah di atas. Semoga dapat bermanfaat bagi
kehidupan kita, terimakasih.
sumber : kompasiana.com